Arsul Sani Setuju Pasal Penyerangan Martabat Presiden Ada, Asalkan Tak Bertubrukan dengan MK

10 Juni 2021, 20:58 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani saat rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham Yasonna H. Laoly beserta jajaran di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu, 9 Juni 2021. /DPR RI/Eot/Man

Ponorogo Terkini - Arsul Sani selaku Anggota Komisi III DPR RI memberikan tanggapannya mengenai pasal penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden.

Dilansir dari website resmi DPR RI, diketahui pasal tersebut ada dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Menurut Arsul Sani memang pasal tersebut juga layak untuk dipertahankan.

Baca Juga: RKUHP Hina DPR Bisa Berujung Bui, Dedek Prayudi: Kemunduran Demokrasi Kalau RUU Ini Disahkan

Ia mengatakan selama ini juga sudah banyak negara demokrasi yang tetap mempertahankan pasal tersebut.

Pasal yang mengatur kriminalisasi bagi siapa saja yang melakukan penghinaan atau penyerangan kepada kepala negara yang sedang menjabat.

Meskipun demikian, ia tetap berargumen agar pasal ini tetap tidak bertentangan dengan putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga: Uus Mengaku Teman Baik Gofar Hilman, Tapi Terang-terangan Dukung Jojo Korban Pelecehan Seksual

"Artinya adalah wajar kalau di dalam KUHP kita berdasarkan benchmarking, pasal terhadap penghinaan presiden dan wakil presiden,” ungkap Arsul Sani saat rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham Yasonna H. Laoly beserta jajaran di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu, 9 Juni 2021.

“Atau penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden itu dipertahankan. Tantangan kita adalah bagaimana ini tidak menabrak putusan Mahkamah Konstitusi," tambahnya.

Ia juga menuturkan agar tidak bertabrakan dengan putusan MK maka terdapat 3 hal yang perlu dilakukan.

Yang pertama adalah sifat deliknya yang memang diubah, dari delik biasa menjadi ke delik aduan.

Baca Juga: Aurel Hermansyah Bilang Benci Atta Halilintar Cuma Gara-gara Berat Badan, Kenapa?

Kedua, pada ayat berikutnya diberikan pengecualian, mana yang bukan penyerangan, dalam rangka suatu kritik kebijakan ataupun untuk pembelaan diri.

Sedangkan yang ketiga, untuk menghindari potensi ‘seenaknya’ suatu penegak hukum, maka pidana haruslah diturunkan, setidaknya harus di bawah lima tahun.

"Saya melihat bagitu banyak negara-negara demokrasi seperti kita, bahkan yang tradisi demokrasinya lebih lama dari kita,” paparnya.

“Tetap mempertahankan less majesty, ketentuan-ketentuan pidana tentang penyerangan terhadap harkat dan matabat pemegang kekuasaan, khususnya kepala negara,” tambahnya.

Ia juga memberikan contoh negara-negara lainnya.

“Contoh kita bisa baca di pasal 115 KUHP-nya Denmark, di sana juga ada ancaman hukuman pidana bahkan sampai 4 tahun,” tutur Arsul Sani.

“Pasal 101 KUHP Islandia, itu juga ancamannya 4 tahun," pungkasnya.***

Editor: Yanita Nurhasanah

Sumber: DPR RI

Tags

Terkini

Terpopuler