PPKM Darurat, PHRI Minta Kompensasi: Belum Bangkit, Sudah Jatuh Lagi

- 2 Juli 2021, 19:04 WIB
Sektor bisnis hotel dan restoran menjadi salah satu yang paling terpukul imbas kebijakan PPKM Darurat.
Sektor bisnis hotel dan restoran menjadi salah satu yang paling terpukul imbas kebijakan PPKM Darurat. /Pixabay/ 12019

Ponorogo Terkini – Mulai 3-20 Juli 2021, pemerintah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat di wilayah Jawa dan Bali.

Hal ini sebagai bentuk respon pemerintah atas lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi di Indonesia.

PPKM Darurat ini memberikan batasan lebih ketat di berbagai sektor dibandingkan kebijakan PPKM Mikro sebelumnya.

Kebijakan PPKM Darurat di Jawa dan Bali akan diterapkan di 48 kabupaten/kota yang masuk penilaian level 4.

Baca Juga: Barcelona Ingin Pertahankan Lionel Messi, Siap Beri Gaji Triliunan Lagi?

Selain itu, 74 kabupaten/kota di level 3 di wilayah Jawa-Bali juga menjalankan kebijakan yang sama.

Sektor perhotelan dan restoran merupakan jenis bisnis yang mengandalkan mobilitas masyarakat.

Dengan adanya pengetatan mobilitas, sektor ini menjadi salah satu yang mengalami pukulan paling keras.

“Sektor ini sulit bangkit di masa pandemi. Tahun 2020, pada saat PSBB lalu di bulan Maret-April diterapkan occupancy (keterisian kamar) langsung jadi single digit. Ditutup tahun kemarin, occupancy bisa ke kisaran 30-35% dengan nilai jual average kamar turun 30%-40%,” ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran saat dihubungi tim Ponorogo Terkini via telepon, Jumat 2 Juli 2021.

Baca Juga: Istri ‘Menghilang’ Saat Ferry Irawan Terbaring Sakit, Ibunda: Istri Ferry Sedang Tak Mungkin Mengurus Suami

Maulana mengungkap kondisi sektor hotel dan restoran seperti mendapat pukulan karena belum sempat bangkit dari tekanan pandemi di 2020, kini masih harus jatuh lagi karena aturan ‘rem mendadak’ PPKM Darurat.

“Kita dalam posisi tidak bisa menghindar (dari penerapan kebijakan PPKM darurat). Situasi cukup rumit saat ini dengan kasus Covid yang terus meningkat sampai ketersediaan rumah sakit dan ruang isolasi minim,” paparnya.

“Iya bisa dikatakan demikian, belum bangkit sudah jatuh lagi. Dua minggu itu adalah waktu yang sangat berarti hotel dan restoran karena pertumbuhan occupancy (keterisian kamar) saat ini hanya bisa rata-rata 30%-35% dengan harga jual yang sangat rendah (harga kamar sudah didiskon besar),” lanjut Maulana.

Maulana menjelaskan, bisnis perhotelan saat ini sudah memiliki pendapatan yang pas-pasan sehingga kesulitan dalam mengelola arus kas.

Baca Juga: Ki Manteb Sudarsono Meninggal, Ganjar Pranowo: Sosok Panutan Meninggalkan Kita

Alhasil langkah yang diambil ialah efisiensi besar-besaran di mana 60% pekerja di sektor ini sudah tidak dipekerjakan (bisa di-PHK atau dirumahkan).

Menurut Maulana, kondisi sulit ini bahkan menyebabkan sebagian hotel sudah tidak bisa beroperasi.

“Seperti yang terjadi di Lampung ada hotel yang disegel oleh wali kota karena tidak sanggup membayar pajak di sana. saking gak bisa merekanya gak bisa bayar kewajiban ke pegawainya, mereka juga menunda pembayaran pajak,” terangnya.

Oleh karenanya, Maulana menekankan perlunya bantuan insentif dari pemerintah pusat maupun daerah.

“Harus ada kompensasi dari kebijakan tersebut (PPKM Darurat). Karena tenaga kerja yang ada di sektor ini harus bertahan di masa seperti sekarang. Misalnya membebaskan pajak PBB dan pajak reklame yang besar-besar itu. Dan bagaimana kewajiban pelaku usaha ke perbankan (karena perbankan selektif berikan kelonggaran kredit,” papar Maulana.

Maulana pun menambahkan, “Dan masalah listrik karena abondemennya kan lumayan besar. Listrik itu bisa menggerus cashflow seperti yang terjadi di tahun 2020 lalu. Kalau yang sudah jadi pelanggan premium minimal Rp110 juta mereka (pelaku sektor perhotelan) bayar (setiap bulannya) abodemennya saja. Jadi dipakai dipakai atau tidak dipakai, kita harus mengeluarkan biaya tersebut.”**

Editor: Yanita Nurhasanah


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini